SPORT PEDAGOGY



Pendahuluan
Kajian ruang lingkup sport pedagogy istilah lazimnya dan disepakati di tingkat internasional memang tidak lepas dari pemahaman kita terhadap eksistensi ilmu keolahragaan (sport science). Dari perspektif sejarah, di Indonesia status dan pengakuan terhadap ilmu keolahragaan masih tergolong masih muda baik ditinjau dari tradisi dan paradiqma penelitian maupun produk riset yang dapat diandalkan untuk melandasi tataran praktis.

Selanjutnya diuraikan tentang pedagogi olahraga dari aspek perkembangannya, tetapi risalah ini lebih diarahkan pada pengenalan batang tubuh pedagogi olahraga itu sendiri yang dipahami sebagai medan penelitian, sekaligus pengembangan ilmu yang melandasi semua upaya yang mengandung intensi yang bersifat mendidik. Itulah sebabnya, pedagogi olahraga memiliki peluang pengembangan dan penerapannya, tidak hanya dalam lingkup penyelenggaraan Penjas dan OR di sekolah atau lembaga formal, tetapi juga diluar persekolahan seperti perkumpulan olahraga, terutama klub-klub pembinaan olahraga usia dini.

Sangat banyak “sisi gelap” atau ekses negative kegiatan olahraga, dan bahkan terbuka kesempatan luas bagi guru pendidikan jasmani atau pelatih untuk menimbulkan kerusakan secara sistematis dan bersifat akumulatif pada peserta didik sebagai akibat semua tindakannya dan perlakuannya tidak memiliki landasan ilmiah. Landasan keilmuan di bidang olahraga dibutuhkan, selain bermanfaat untuk mencegah tindakan Mala-praktik yang membahayakan masa depan peserta didik, tentu yang tidak kalah pentingnya ialah agar keseluruhan upaya pembinaan itu dapat dipertanggung jawabkan secara etika professional.

Kukuhnya landasan ilmiah bagi landasan bagi segenap upaya kependidikan dalam olahraga menuntun kearah efisiensi proses dan efektivitas pencapaian tujuan yang diharapkan. Hanya dengan landasan ilmiah yang kukuh baru akan terjamin prinsip akuntabilitas dalam pendidikan jasmani dan olahraga, dan atas dasar itu pula para pendidik di bidang olahraga dapat mempertanggungjawabkan upaya pembinaannya secara terbuka kemasyarakat.

Perspektif Sejarah.
Kerangkan ilmu keolahragaan itu sendiri di Indonesia, secara gamblang, mulai dikenal sejak thn 1975 tatkala adanya lokakarya internasional sport science. Hasilnya berdampak kuat terhadap pengembangan STO di Indonesia meskipun kala itu muatannya sesak dengan pengetahuan tentang isi (content knowledge). Beberapa sub disiplin ilmu keolahragaan (misalnya biomekanik, filsafat olahraga, fisiologi olahraga, dalam nuansa sendiri-sendiri) mulai dikembangkan yang didukung oleh ilmu-ilmu pengantar lainnya dalam pendidikan. (misalnya psikologi pertumbuhan dan perkembangan) dan ilmu social lainnya (misalnya sosiologi dan anthropology) yang dipandang perlu dikuasai oleh para calon guru, pelatih dan Pembina olahraga.

Medan Penelitian
Dari perspektif sosiologis, olahraga dipandang sebagai bagian dari budaya, dan karena itu masyarakatlah yang membentuknya sebagai bagian dari hidupnya. Itulah sebabnya, dari waktu kewaktu definisi olahraga berubah sesuai dengan persepsi kelompok masyarakat. Misalnya di tahun 1960an lebih diwarnai oleh nuansa ”upaya perjuangan melawan unsur alam atau diri sendiri”. Seiring dengan gerakan olahraga bersifat inklusif ”sport for all” sejak thn 1972 di Erofa sepakat untuk mengartikan olahraga sebagai ”aktivitas spontan” bebas dilaksanakan pada waktu luang.

Dengan kata lain olahraga diartikan dalam arti yang lebih luas bukan hanya olahraga kompetitif yang berisi kegiatan perlombaan atau pertandingan untuk memperagakan prestasi yang optimal, tetapi juga kegiatan jasmani pada waktu senggang sebagai pelepas lelah atau dengan kata lain untuk membentuk pembinaan kebugaran jasmani.

Menghadapi kenyataan bahwa olahraga itu sangat kompleks, pakar olahraga d Indonesia telah mencoba untuk menggolongkannya sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai sehingga dikenal olahraga pendidikan (pendidikan jasmani) yang menekankan pada aspek kependidikan, olahraga rekreasi untuk tujuan yang bersifat rekreasi, olahraga kompetitif untuk tujuan prestasi. Jenis olahraga berkembang sesuai dengan motif kelompok masyarakat pelakunya.

Struktur Ilmu Keolahragaan
Kerangka dasar ilmu keolahragaan yang disusun berdasarkan kemajuan yang dianggap cukup mapan, seperti yang dipaparkan Prof. Haag di Jerman sejak th 1979, sangat membantu kita untuk menelaah kedudukan sport pedagogy, sebagai salah satu diantaranya, sebagai isi dari ilmu keolahragaan.

Ada 7 (tujuh) bidang teori yang mendukung, yakni (1) sport medicine, (2) sport beomechanic, (3) sport psychology, (4) sport sociology, (5) sport pedagogy, (6) sport history dan (7) sport philosophy. Masing-masing bidang memiliki medan penelitian yang spesifik pula. Urutan ketujuh bidang teori tersebut dipaparkan dalam pengelompokkan yang dianggap logis. Sport medicine dan sport biomechanic olahraga termasuk kedalam kelompok ilmu pengetahuan alam, sementara sport psychology, sport sosiology dan sport pedagogy tergolong kedalam rumpun ilmu pengetahuan sosial dan behavioral. Sport history dan sport philosophy termasuk kedalam kelompok hermeneutical-normative science. Paparan tersebut juga menunjukkan bahwa “ibu” ilmu pengetahuan yang menjadi landasan pengembangan ilmu keolahragaan ialah medicine, biology/fisika, psikologi, sosiologi, sejarah dan filsafat.

Model pengelompokkannya tergambar dalam sebuah kontinum, dari IPA ke humaniora, atau secara metodologis, dari analitis-empiris ke hermenetik-teoretis, atau dari yang kongkret ke abstrak.
Sejak tahun 1980an sesuai dengan tuntutan yang relevan dimasyarakat, berkembang lima bidang teori baru dalam ilmu keolahragaan. Kelima bidang teori yang menunjukkan kemajuan pesat itu meliputi sport information, sport politics, sport law, sport engineering dan sport economy. Masing-masing terkait dan bahkan meminjam konsep ilmu yang sudah mapan yakni information science, political science, law, engineering dan economy.

Sementara itu juga telah dikelompokkan bidang teori yang lebih spesifik yang menjadi jati diri ilmu keolahragaan, bertitik tolak dari wilayah spesifik yang meliputi faktor : (1) gerak (movement), (2) bermain ( play ) (3) pelatihan (training) dan (4) pengajaran dalam (5) olahraga (sport instruction) . dari kelima wilayah spesifik ini lahirlah 5 (lima) dimensi dari perspektif ilmu dan teori yakni movement science dan movement theory ; play science dan play theory ; training science dan training theory ; dan instruction science of sport dan instruction theory of sport.
Dengan demikian semakin jelas gambaran tentang taksonomi ilmu keolahragaan yang dibangun berdasarkan sejumlah bidang teori. Kecenderungan ini menunjukkan perkembangan ilmu keolahragaan ke arah spesialisasi dan pragmentasi.

Landasan Filosofis Pedagogy Olahraga.
Pandangan dualisme Decartes yang memahami dikhotomi jiwa dan badan berpengaruh terhadap profesi di bidang keolahragaan, yakni raga dipandang semata-mata sebagai sebuah objek, yang diungkapkan dalam perumpamaan yang lazim dikenal ” the body instrument” ” the body-machine” atau ” the body-computer”. Sebagai akibatnya maka sedemikian menonjol pandangan yang mengutamakan aspek raga sehingga fisiologi dan anatomi menduduki posisi yang amat kuat dalam penyiapan tenaga guru pendidikan jasmani, dan pendidikan jasmani dipahami sebagai sebuah subjek yang penting bagi pembinaan fisik yang dipandang sebagai mesin.
Selanjutnya, konsep yang dikembangkan Maurice  Merleau-Ponty tentang ” the body-subjek “ dapat dipandang sebagai sebuah perubahan radikal pemikiran dualisme Cartesian. Inti dari pemikiran Ponty ialah bahwa manusia itu sendirilah yang secara sadar menggerakkan dirinya sehingga tubuh atau raga aktif sedemikian rupa untuk kontak dengan dunia sekitarnya. Idea tentang the body subject mengaskan kesatuan antara jiwa dan badan.


Pendidikan jasmani dan Pedagogi Olahraga.
Meskipun rumusan lingkup unsur pedagogi olahraga (sport pedagogi) beragam pada berbagai negara, karena terkait dengan perbedaan budaya, akar sejarah, dan standar metodologi, namun pada tingkat internasional, terdapat persamaan pemahaman yaitu pendidikan jasmani dipahami sebagai sebuah bidang studi (mata pelajaran) di sekolah, dan pedagogi olahraga dipandag sebagai sebuah subdisiplin ilmu dalam kerangka ilmu keolahragaan.
Diberbagai negara diseluruh dunia, perkembangan pendidikan jasmani dan pedagogi olahraga terkait dengan sejarah, yang menceminkan perbedaan perkembangan secara nasional dan perbedaan konsep, seperti juga perbedaan teori dan paradiqma. Meskipun perspektif sejarah tampak merupakan bagian terpadu dari semua disiplin ilmu keolahragaan (misalnya, sport medicine, sport phychology), namun elemen sejarah yang amat khusus yang menggaitkan kedua subdisiplin ilmu keolahragaan, pedagogi olahraga, dan sejarah olahraga (sport history).
Elemen-elemen sejarah yang menjadi cakupan kajian sejarawan olahraga dan ahli pedagogi olahraga, secara umum ditekankan pada :
Ø  Semua aktivitas jasmani dan olahraga yang dilakukan siswa di dalam dan diluar sekolah.
Ø  Dampak gerakan olimpiade modern terhadap pendidikan jasmani
Ø  Kebijakan pendidikan disuatu negara tentang penyelenggaraan pendidikan jasmani
Ø  Perbedaan tipe program intra dan ekstrakurikuler
Ø  Perubahan latar belakang falsafah dan ilmu sosial yang melandasi program dan tujuan pendidikan jasmani dan olahraga.
Ø  Tujuan program studi dan lingkup mata kuliah lembaga pendidikan tenaga kependidikan (guru) dan perkembangan lembaga tersebut
Ø  Sejarah perkembangan struktur kurikulum dan silabi
Ø  Metode pengajaran, evaluasi dann pengukuran tradisional dan sebagian sudah terlupakan
Ø  Bentuk-bentuk latihan terpilih, termasuk fasilitas, perlengkapan dll.

Seperti dikemukakan oleh para ahli lainnya (Pierson, Cheffers, dan Barette 1994; dalam Naul, 1994) pedagogi olahraga merupakan sebuah disiplin yang terpadu dalam struktur ilmu keolahragaan. Paradiqma ini telah diadopsi di Indonesia dalam pengembangan pedagogi olahraga di FIK/FPOK/JPOK dengan kedudukan bahwa pedagogi olahraga dianggap sebagai ”induk” yang berpotensi untuk memadukan konsep / teori terkait dan relevan dari beberapa subdisiplin ilmu keolahragaan lainnya terutama dalam konteks pembinaan dalam arti luas dan paradiqma interdisiplin (Matveyev, dalam Rusli lutan, 1988). Pandangan ini tak berbeda dengan tradisi di Jerman yang menempatkan pedagogi olahraga dalam kedudukan sentral dan struktural ilmu keolahragaan (Wasmund, 1973).
Dalam model yang dikembangkan di Universitas Olahraga Moskow, pedagogi olahraga ditempatkan sebagai ”pusat” yang berpotensi untuk memadukan beberapa subdisiplin ilmu dalam taksonomi ilmu keolahragaan, sementara para ahli meletakkan sport medicine yang mencakup aspek keselamatan (safety) dan kesehatan sebagai landasan bagi pedagogi olahraga (Rusli Lutan, 1988; dalam laporan hasil The Second Asia-pasicic Congress Of Sport and Physical Education University President).
Widmer (1972) menjelaskan objek  formal pedagogy olahraga yaitu ”fenomena olahraga fenomena pendidikan, tatkala manusia dirangsang agar mampu berolahraga.
Bagi Grupe & Kruger (1994), pedagogy olahraga mencakup 2 (dua) hal utama : (1) tindakan pendidikan praktis dalam bermain dan olahraga, dan karena itu ada landasan teoritis bagi kegiatan olahraga yang mengandung maksud mendidik tersebut, (2) praktik yang dimaksud berbeda dengan praktik dan konsep lama dalam pendidikan jasmani yang mengutamakan latihan gaya meliter dan drill di beberapa negara, khususnya di Jerman; praktik baru itu disertai konsep teoritis pendidikan jasmani, kontrol terhadap badan, disiplin, yang menyatu dengan gerak fisik, ability, dan keterampilan di bawah pengendalian jiwa dan kemauan.

Pedagogi Olahraga di UPI
Pedagogi olahraga di UPI misalnya memanfaatkan filsafat olahraga (sport philosophy) dan sejarah olahraga (sport history) sebagai landasan pokok bagi pengembangan batang tubuh keilmuan pedagogi olahraga. Pandangan ini, secara independen, pernah dikupas oleh Naul (1986;1994) yang menyatakan bahwa ”perspektif sejarah pedagogi olahraga berkaitan erat dengan sejarah olahraga untuk alasan metodologis. ”karena itu, perspektif sejarah merupakan elemen penting dari kajian pedagogi olahraga, seperti halnya pendidikan jasmani merupakan unsur penting dalam sejarah olahraga.

Di Indonesia, baik dalam pengertian paradiqma pengembangan keilmuannya, maupun substansinya, pedagogi olahraga ini baru merupakan sebuah ”embrio” dalam taksonomi ilmu keolahragaan dalam international Workshop on Sport Science. 1975 di bandung yang diikuti pimpinan dan dosen dari STO se-Indonesia dengan nara sumber ahli dari jerman Barat (Prof. Haag, Prof. Nowacki, Dr. Jansen dan Bodo Schmidt). Indonesia tenggelam dalam pencarian struktur ilmu keolahragaan, asyik dengan tema-tema diskusi olahraga kompetitif, disekitar feri-feri ilmu kepelatihan dan sport medicine.


Sejak tahun 1980-an perubahan memang banyak terjadi di tingkat international, terutama di AS utara, yaitu para ilmuan bidang keolahragaan, mulai memperkenalkan ”sport Pedagogy” dengan alasan yang berbeda, dan mereka mulai menengok ke perspektif sejarah sistem pendidikan jasmani dan kurikulum penididikan jasmani mereka sendiri. (Siedentop, 1990). Di antara alasan yang dikemukakan Siedentop ialah dampak krisis ekonomi yang menyebabkan penyerapan lulusan program pendidikan yang amat rendah dipasar kerja (disekolah) sehingga melalui pengembangan pedagogi olahraga akan terbuka spektrum layanan jasa profesional di luar sekolah dan menyerap tenaga kerja.

Pedagogi olahraga bukanlah merupakan perluasan istilah pendidikan jasmani. Perkembangan pedagogi olahraga dalam paradiqma interdisiplin-integratif didorong oleh kebutuhan secara akademik, yakni dari aspek metodologi, sebab pendekatan hermenetik dalam pendidikan jasmani sudah tidak lagi memadai untuk mampu mengembangkan segi keilmuannya. Banyak ilmuan Internssional sepaham bahwa istilah pedagogi olahraga berasal dari jerman, tatkala latar belakang filsafat / hermenetik dari ”teori pendidikan jasmani” mengalami kemunduran pada akhir tahun 1960-an, sehingga diganti dengan istilah pedagogi olahraga (Grupe, 1969; dalam Naul, 1994).

Namun informasi lainnya (misalnya Naul, 1994) menyebutkan bahwa istilah pedagogi olahraga itu tidak saja sepenuhnya berasal dari jerman yang muncul pada tahun 1960-an, karena Pierre de Coubertin menulis buku Pedagogi Sportive pada tahun 1922. Gerakan Olimpiade sejak tahun 1898 hingga perang dunia I, seperti juga buah pikiran yang tertuang dalam beberapa naskah dan artikel yang ditulis de Courbertin (Perancis), Gebbardt dan Diem (Jerman), dan Kemeny serta Guth-Jarkowsky (Austria-Honggaria) sempat diabaikan oleh para pedagogi olahraga. Tulosan mereka tentang pendidikan olahraga menonjolkan pengembangan moral, kemauan untuk berolahraga, dan semangat olimpiade, dan pokok pikiran itu sungguh sangat relevan dengan konsep dalam pdagogi olahraga.  Para tokoh peletak dasar pedagogi olahraga ini berpikiran sama dengan para pendidik lainnya tentang hakikat dan gerakan pengembangan ” body and mind ” di Amerika Serikat dan Jerman.

Di berbagai negara, pendidikan jasmani dibentuk kembali setelah tahun 1900, khususnya tahun 1920-an . Perkembangan ini didukung kuat oleh Dokter olahraga yang dikenal di tingkat Internasional yaitu Sargent (1906) di AS, dan Schmidt (1912) di Jerman. Kedua tokoh ini menganjurkan tipe latihan senam dan metode pengajaran yang tekanannya pada pembentukan (forming) fisik. Metode alamiah menjadi populer di Denmark dan Swedia yang dipromosi oleh Torngren (1914),  Knudsen (1915) dan Bukh (1923)


Lingkup Batang Tubuh Pedagogi Olahraga.
Beberapa definisi tentang pedagogi olahraga, seperti dikembangkan di Erofa lebih menunjuk kepada segenap upaya yang mengandung maksud dan tujuan untuk yang bersifat mendidik, meskipun ada kecenderungan kearah penyempitan makna semata-mata menelaah proses pengajaran belaka, seperti yang dikatakan ”sport pedagogy deal with teaching and learning of all age group ....target  group are individual with low level of performance,” atau ”sport pedagogy is constituted in the actors and actions of teaching and learning porpuseful human movement”. Dalam ungkapan yang lebih umum dan luas disebutkan bahwa pedagogi olahraga adalah “ the science …which is concerned with the relationship between sport and education (misalnya dalam tulisan Grupe & Kurz).

Definisi ini sangat banyak mebantu kita untuk memahami bahwa lingkup pedagogi olahraga banyak berurusan dengan segenap upaya yang bersifat mendidik yang sarat dengan misi dalam rangka proses pembudayaan, khususnya transformasi nilai-nilai inti, yang memang, jika disimak secar cermat, bahwa olahraga itu sanat kaya dengan potensi dan kesempatan dalam pembekalan kecakapan hidup.

Tidak dipungkiri bahwa seluruh lakon gerak insani yang sadar dan bertujuan dalam konteks olahraga itu melibatkan sebuah mekanisme kerja system persyarafan dalam sebuah koordinasi yang luar biasa cepatnya, mekanisme persepsi dan aksi yang sinkron dibuahkan dalam bentuk pembuatan keputusan yang cepat, pemecahan masalah yang jitu selain kreativitas, seperti tampak dalam peragaan para atlit tinggi (misalnya tampak dalam peragaan professional bola basket dan sepakbola). Unsur estetika melekat kuat di dalamnya dalam wujud irama tampilan yang anggun dan selaras untuk berekpresi (lihat misalnya dalam tampilan atlit figure skating). Pengembangan potensi sekaligus pembentukan jelas-jelas terjadi melalui semua adegan yang bersifat mendidik, dan dalam kaitan itu pula mengklaim bahwa pendidikan jasmani dan olahraga berorientasi pada pencapaian tujuan pendidikan yang bersifat menyeluruh sangat dapat dipertanggung jawabkan.
Bahwa proses ajar merupakan bagian dan keterjadian pendidikan jasmani dan olahraga harus diakui, dan perubahan laku dimaksud memang terjadi melalui proses itu. Itulah sebabnya pada tataran praktis disyaratkan bahwa harus selalu terjadi proses transaksi antara guru dan murid, yang berimplikasi pada pertanyaan, yakni apa sesungguhnya substansi yang disampaikan oleh guru kepada murid, dan karena itu PENGETAHUAN apa yang terkandung dalam substansi yang disampaikan untuk mencapai tujuan pendidikan yang diharapkan. Kretik keras dari masyarakat dan orang tua siswa terhadap profesi pendidikan jasmani dan olahraga  ialah bahwa hanya sedikit  terjadi dan bahkan ada tuduhan sama sekali tidak berlangsung proses ajar.

Kompleksitas yang terjadi benar-benar pada tataran praktis, bukanteoritis yang berakibat fatal bagi tuunnya wibawa para pemangku profesi itu. Sungguh tidak terelakkan bahwa kesenjengan antara harapan dan kenyataan (das sollen or de sain) memang telah terjadi dalam pencapaian tujuan pendidikan jasmani dan olahraga yang terkait dengan kelemahan dalam hal kejelasan landasan keilmannya dan keterhubungan antara aspek teoritis dan praktis.

Untuk mengenal lingkup perkembangan batang tubuh pedagogi olahraga, ini bisa disimak dari pokok pikiran Lee Shulman (1987) tentang 7 (tujuh) kategori ilmu pengetahuan yang sangat mendasari dan sangat membantu untuk menjawab persoalan, apa landasan keilmuan utama pendidikan jasmani dan olahraga. Di AS itu sendiri seperti laporan Christensen, bahwa dalam proses belajar mengajar pendidikan jasmani dan olahraga (1996), ke tujuh kategori ini digunakan sebagai sumber yang paling sering dipakai NCATE ( National Council on Accreditation for Teacher Education) dalam melaksanakan akreditasi guru pendidikan jasmani. Kupasan singkat tentang wilayah kajian pdagogi olahraga ini juga pernah dipaparkan dalam ceramah Schempp (1993) yang berjudul ” The Nature of Knowledge in Sport Pedagogy

Ketujuh kategori pengetahuan tersebut di atas dijelaskan sebagai berikut :
  1. Content knowledge
  2. General pedagogical Knowledge
  3. Pedagogical Content knowledge
  4. Curriculum Knowledge
  5. Knowledge of educational Content
  6. Knowledge of learners and their Characteristic
  7. Knowledge of Educational Goals.

Ketujuh kategori pengetahuan seperti di atas, dapat melandasi sekaligus mendukung proses belajar mengajar pendidikan jasmani dan olahraga itu pada dasarnya dapat dipakai sebagai rujukan bagi pengembangan batang tubuh pedagogi olahraga. Ketujuh pengetahuan yang bersifat umum itu menunjukkan potensi pedagogi olahraga untuk mengintegrasikan pengetahuan dari subdisiplin ilmu keolahragaan lainnya yang menjadi landasan teoretis penyelenggaraan pendidikan dalam konteks pendidikan jasmani dan olahraga pada umumnya. Menjadi lebih unik pengetahuan yang dimaksud karena ada 3 (tiga) kategori pengetahuan yang mesti dikuasai oleh guru pendidikan jasmani; yakni kategori (a) pengetahuan teoretis konseptual, (b) pengetahuan tentang prosedur penerapan dan (c) pengetahuan tentang hal yang bersifat situasional.


1. Content Knowledge
Meskipun pendidikan jasmani itu merupakan proses sosialisasi melalui aktivitas jasmani, tetapi dalam setiap tugas ajar itu terkandung pengetahuan yang mesti dikuasai oleh peserta didik. Pengetahuan itu berkisar di seputar penguasaan konsep gerak, dan karenanya apapun jenis subsatnsinya permainan dan olahraga selalu diarahkan pada kemampuan untuk memahami alas an-alasan dibalik setiap tampilan. Karena substansi tugas ajar dalam kurikulum pendidikan jasmani di Indonesia umumnya berisi cakupan dan/atau keterampilan berolahraga, tidak dapat dielakkan, begitu kuat dan sarat bobot pengetahuan berkenaan dengan cabang olahraga yang dianggap essiensial, seperti atletik, senam, renang dan beberapa cabang olahraga permainan yang populer (misalnya sepakbola, bola voli, bola basket, bulu tangkis dll).
            Para siswa atau atlit yang terampil biasanya menunjukkan kemampuan yang lebih tinggi dalam pemecahan masalah ketimbang pemula. Hal ini berimplikasi pada pentingnya pengemasan substansi untuk lebih mudah dipahami, dank arena itu peranan media seperti rekaman vedio sangat membantu para siswa untuk menguasai konsep gerak. Itulah sebabnya konsep perhatian (attention) banyak dibahas dalam teori belajar gerak, seperti halnya teori memori dan visualisasi. Betapa pentingnya penyampaian informasi konsep gerak termasuk ”Kunci” pelaksanaannya sehingga pengetahuan itu menjadi lebih terstruktur yang menyebabkan persoalan yang menentukan bukan banyak sedikitnya informasi yang disampaikan, tetapi bagaimana membuatnya menjadi jelas menurut persepsi para siswa atau peserta didik.
            Saya menduga hal itulah sebuah titik lemah dalam proses pengajaran, lebih-lebih proses pelatihan atau coaching olahraga prestasi tingkat tinggi, yang kebanyakan lebih tertuju pada peragaan keterampilan, tanpa pengarahan agar siswa atau atlet memahami alasan-alasan dibalik semua tampilannya.
            Ringkasnya, pengetahuan tentang isi ini berkenaan dengan subjek yang diajarkan, dan tanpa itu aka tidak ada pengajaran sehingga pengetahuan dan sekaligus kecakapan dalam konteks pendidikan jasmani yang mengandung isi pendidikan melalui aktivitas jasmani, perlu dikuasai oleh guru yang bersangkutan. Esensi dari substansinya ialah pengetahuan tentang gerk insani dalam konteks pendidikan yang terkait dengan semua aspek pengetahuan untuk memahami peserta didik secara utuh.

2. General Pedagogical Knowledge.
            Pengetahuan ini mencoba untuk menyingkap kaitan antara perilaku guru dan hasil belajar pada siswa. Cakupannya, meliputi :
ü  Kemampuan umum dalam mengelola dan merencanakan unit pengajaran
ü  Pengelolaan dan pengorganisasi kelas
ü  Metodik/teknik pengajaran, dan
ü  Evaluasi & peentuan (grading) nilai siswa.
Penelitian dalam kategori ini berkisar pada tema jumlah waktu aktif belajar (active learning time) pembuatan keputusan, efektivitas pengajaran dan manajemen kelas.

3. Pegogical Content Knowledge
            Pengetahuan ini berkenaan dengan bagaimana mengajar sebuah subjek atau topik bagi kelompok peserta didik dalam konteks yang spesifik. Pengetahuan ini juga terkait dengan :
ü  Tujuan pengajaran sebuah subjek pada tingkat kelas yang berbeda
ü  Konsep dan miskonsepsi siswa mengenai suatu subjek.
ü  Material kurikulum suatu subjek
ü  Strategi pengajaran bagi sebuah topik.

4. Curriculum Knowledge.
            Pada skala makro, pengetahuan ini berkaitan dengan tipe kurikulum dalam pendidikan. Pengetahuan ini berkenaan dengan isi dan program yang berorientasi pada prinsip pertumbuhan dan perkembangan (DAP) peserta didik jasmani, suatu bidang yang paling terbengkalai perkembangannya di Indonesia baik secara teoretis maupun praktis.
            Diskusi dan model pengembangan kurikulum pendidikan jasmani di Indonesia masih sangat banyak memerlukan dukungan fakta empirik di lapangan. Karena itu berbincangan tentang kurikulum, yang kedudukannya amat strategis untuk pencapaian tujuan pendidikan membutuhkan banyak penelitian. Hanya sedikit pikiran kritis misalnya untuk mengkaji ulang implimentasi model kurikulum pendidikan jasmani yang berorientasi pada pelasterian kultur olahraga dalam nuansa ” sporting based approach” yang banyak dipengaruhi oleh para pendukung pengembangan olahraga elit-kompetitif.
            Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pengembangan kurikulum pendidikan jasmani di Indonesia merupakan wilayah pengembangan pengetahuan yang memerlukan prioritas, karena berpangkal dari model kurikulum itulah kemudian banyak muncul persoalan dalam penerapannya.

5. Knowledge of Educational Context.   
            Semua program pendidikan jasmani berlangsung dalam konteks yang beregam, yakni yang dapat mempermulus atau sebaliknya menghambat pelaksanaan pengajaran.Yang dimaksud dengan konteks atau tata latar adalah keseluruhan faktor yang mempengaruhi apa dan bagaimana isi diadakan dan dipelajari dalam sebuah program.
Dalam lingkup yang lebih luas kita dapat mengamati betapa besar variasi dan perbedaan lingkungan lembaga pendidikan antara sekolah diperkotaan, pedesaan atau yang terdapat dipasisir pantai serta didaerah belantara, daerah-daerah terpencil. Kebanyakan lingkungan semacam itu relatif stabil, tetap dan arena itu hanya sedikit kemampuan guru untuk mengubahnya.
Hal terbaik yang dapat dilakukannya ialah ia mesti dapat membiasakan diri menghadapi lingkungannya dan mampu memanfaatkan secara maksimal semua potensi untuk mendukung pengajaran. Ini berarti bahwa faktor lingkungan ini tidak dengan sendirinya menjadi penghambat, dan bahkan program pendidikan jasmani itu berlangsung dalam konteks yang memungkinkan para guru untuk memperoleh pilihan yang banyak bagi pengajarnya.
Pengetahuan ini berkenaan dengan dampak lingkungan terhadap pengajaran, yang meliputi faktor lingkungan fisikal dan sosial di dalam dan disekitar kelas, termasuk pengetahuan tentang kegiatan kerja dalam kelompok kelas, pembiyaan pendidikan karakteristik masyarakat budaya. Lebih rinci lagi, seperti dalam tulisan Metzler (2000) faktor konteks ini dipaparkan dalam 5 (lima) faktor utama yakni ; (1) lokasi sekolah, (2) demografis siswa, (3) administrasi, (4) staf pelaksana pendidikan jasmani, dan (5) sumber belajar.
Faktor lokasi meliputi lingkungan perkotaan, pedesaan, pinggiran kota. Yang berpotensi untuk mempengaruhi pengajaran seperti luas sempitnya pekarangan atau lapangan yang tersedia, keterjangkuan sekolah yang terkait dengan transportasi, dan faktor keamanan. Termasuk faktor yang lebih pelik lagi ialah keadaan iklim, seperti sekolah-sekolah dibagian Indonesia timur yang banyak diterpa oleh sinar terik matahari sehingga keadaan ini sangat berpengaruh terhadap kelangsungan pengajaran di daerah terbuka. Itulah sebanya, seperti di Sekolah Brisbane negara bagian Australia, para siswa diwajibkan memakai topi ketika mengikuti pelajaran pendidikan jasmani untuk mengurangi sengatan matahari.

6. Knowledge of Learners and their Characteristics.
            Pengetahuan ini berkenaan dengan proses ajar manusia dan penerapannya dalam pengajaran pendidikan jasmani dan olahraga. Terliput di dalamnya pemahaman tentang karakteristik siswa yang amat beregam dari aspek koqnitif, emosi, sosial, dan faktor sejarah dan budaya. Pemahaman tentang peserta didik berkenaan dengan pengetahuan tentang pertumbuhan dan perkembangan, learning capacity, perbedaan bahasa, dan kondisi psikososial yang mempengaruhi sikap dan aspirasi siswa dalam belajar.
            Oleh karenanya prinsip Developmentally Appropriate Practice (DAP) dalam pengertian penyesuaian substansi, sekaligus metode dan strategi dengan karakteristik siswa, prinsip ini mengukuhkan atas pengajaran yang erpusat pada siswa, dan pemahaman tentang pertumbuhan dan perkembangannya amat menentukan dalam penyusunan perencanaan, dan menjadi titik awal dalam hal pemahaman mengenai kebutuhan dan kemampuan siswa.
            Sudah lazim kita pahami tentang konsep perkembangan koqnitif, dan betapa pentingnya bagi guru untuk memahami proses koqnitif karena mempengaruhi perilaku belajar. Tahap-tahap perkembangan koqnitif yang diteorikan oleh Piaget, yakni (1) sensoris motor, (2) pre-operasional, (3) concert operationals, dan (4) formal operasional, banyak mempengaruhi kurikulum pendidikan jasmani dewasa ini.
            Teori pemprosesan informasi dan penyimpanannya misalnya telah mencoba untuk mengkaji persoalan ini dalam konteks penguasaan keterampilan gerak, Upaya ini sangat bermanfaat untuk memahami proses koqnitif yang melandasi kemampuan seseorang untuk belajar dan merencanakan masalah. Pengetahuan ini disebut ” Metacoqnitioin” ( Pengetahuan tentang proses koqnitif yang dimiliki seseorang).

7. Knowledge of Educational Goals
            Pengetahuan ini berkenaan dengan tujuan, maksud dan struktur sistem pendidikan nasional. Apa yang diharapkan guru pada siswa untuk dipelajari dikelas, sehaluan dengan cita-cita pembangunan nasional. Pembelajaran berlangsung untuk mencapai tujuan dalam keadaan peserta didik memiliki kebebasan untuk terlibat, bertanggung jawab dan menikmati iklim kemerdekaan untuk menyelidik, menemukan, mengembangkan dan memahami keterampilan, menghayati nilai-nilai yang dibutuhkan bagi pengembangan sebuah masyarakat madani (civil society) yang adil. Penelitiannya terkait dengan resit dalam kurikulum studi tentang orientasi nilai (misalnya, Ennis, 1992) hidden curriculum (misalnya, Bain (1989) ; tujuan & nilai pendidikan (misalnya, Hellison, 1993).

Kesimpulan.
            Pedagogi olahraga (sport pedagogy) adalah sebuah disiplin ilmu keolahragaan yang masih muda usianya dengan kedudukan sangat berpotensi untuk mengintegrasikan subdisiplin ilmu keolahragaan lainnya untuk mendukung pemahaman bagi kelangsungan proses pembelajaran atau tindakan yang bersifat mendidik. Proses pembelajaran itu melibatkan keterjadian transaksi antara guru dan peserta didik, dalam dalam proses itu penguasaan 7 (tujuh) kategori pengetahuan menjadi amat pentingyang dipandang sebagai batang tubuh pengetahuan pedagogi olahraga. Dalam kaitannya dengan penyelenggaraan pendidikan jasmani, pengembangan model-model pengajaran berlandaskan pada batang tubuh pengetahuan tersebut.
            Untuk penyelenggaraan pengajaran yang berhasil dalam pendidikan jasmani dan olahraga, ketujuh kategori pengetahuan itu tidak saja dapat diaungkapkan kembali oleh guru yang bersangkutan, tetapi pengetahuan itu harus sampai pada tataran penerapan pada waktu sebelum, selama dan setelah pengajaran berlangsung. Lebih rumit lagi karena pengetahuan itu harus dapat diselaraskan dengan kondisi pengajaran yang berubah-ubah yang amat spesifik pada setiap saat.
            Pengembangan pedagogi olahraga sangat dibutuhkan untuk meningkatkan mutu pendidikan jasmani dan olahraga khususnya dilingkungan lembaga pendidikan formal dan non-formal. Karena itu, penelitian untuk mengembangkan batang tibuh pedagogi olahraga disekitar 7 kategori pengetahuan sangat diperlukan dengan menerapkan paradiqma penelitian yang sesuai dengan topik masalahnya. Tradisi penggunaan analisis secara empirik masih populer, meskipun pendekatan kualitatif kian menunjukkan peningkatan dalam penerapannya sekitar dua dasawarsa, meskipun masih amat terbatas di Indonesia.

SPORT PEDAGOGY SPORT PEDAGOGY Reviewed by Magister Olahraga on 18.43.00 Rating: 5

Tidak ada komentar