OBESITAS MENYEBABKAN RENDAHNYA KEBUGARAN JASMANI



Obesitas Menyebabkan Rendahnya Kebugaran Jasmani.
Hasil survei Sosial Ekonomi Nasional, (2004) ; dalam Nerry A Sani, (2004:2) menyatakan ‘penyebab rendahnya kebugaran jasmani selain pola makan tidak seimbang, kurang serat, kurang sayur, dan kurang buah, juga masalah kegemukan (obesitas)’.  Menelaah penyebab obesitas, pada umumnya berhubungan dengan pola makan tidak seimbang antara aktivitas tubuh dan konsumsi makanan. Orang yang mengalami obesitas, porsi makannya lebih banyak karena tidak aktifnya hipotalamus.  Hipothalamus adalah bagian otak yang memberi sinyal kenyang sepuluh menit sesudahnya.   Di pusat hipothalamus terdapat dua sinaps yang memberitahukan rasa lapar dan rasa kenyang. Untuk sinaps rasa lapar, terletak pada ventrolateral hypothalamus sedangkan pusat kenyang terletak pada ventromedial hipothalamus.  Dalam keadaan normal isyarat rasa lapar dikirim ke korteks serebri yang berasal dari pusat kenyang karena dipengaruhi oleh distensi lambung, plasma glucose, dan insulin serta pengaruh substansi katekolamin sehingga orang tersebut merasa kenyang. Tetapi apabila terjadi gangguan pada regulasi perambatan ini, maka orang tersebut tidak merasa kenyang dan terjadi makan yang berlebihan pada akhirnya menyebabkan obesitas.
Obesitas dari perspektif metabolisme merupakan indikator dari berfungsinya kerja metabolisme secara baik. Semakin cepat metabolisme bekerja, maka semakin baik  tubuh anda. Sebaliknya semakin lambat metabolisme bekerja, maka tubuh anda mengalami obesitas.  Metabolisme wanita lebih lambat dari pria, oleh karena itu sebanyak 30 persen wanita lebih cepat gemuk dibandingkan pria.  Pada pria muda kandungan lemak tubuh rata-ratanya 12 persen sedangkan wanita 2 persen.  Karena itu, apabila pria kandungan lemak tubuhnya melebihi dari 20 persen dinyatakan obesitas, demikian pula wanita  apabila melebihi dari 30 persen dinyatakan obesitas.  Pada wanita lemak di simpan di bagian pinggul, sedangkan pada pria lemak di simpan di perut. 
Menurut D., Rusli Syarif dokter ahli nutrisi dan metabolik anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (UI) dalam Misnadiarli, (2007;144) ‘Obesitas adalah penyakit yang ditandai penimbunan jaringan lemak tubuh secara berlebihan’.   Sekarang ini obesitas tidak saja di alami orang dewasa, tetapi juga anak-anak.  Perihal ini dinyatakan Ebbeling PawLak dan Ludwing,(2002); Finer, (2003),Wang, Monteiro, & Popkin, (2002) dalam Chin Ming-kai (2008:1) mengatakan ‘…the world-wide prevalence of obesity in childhood is also increasing’. Artinya di seluruh dunia masalah obesitas pada masa kanak-kanak semakin meningkat’.(Journal 12th World Sport for All Congress Malaysia 2008). 
Pernyataan yang sama disampaikan Florentino, (2002);  dalam Chin Ming Kai (2008:3) “Increasing prevalence of obesity has been shown not only in the industryiall developed countries, but also in the developing countries.  Artinya meningkatnya penyakit obesitas, tidak hanya di negara-negara maju, tetapi juga melanda negara-negara berkembang.  Kemudian WHO (2002) menyatakan “overweight was listed as the fifth most serious risk factor,  accounted for 39% of the total global prevalence of obesity”.  Artinya kelebihan berat merupakan faktor resiko kelima paling serius,  dari 39 persen total obesitas.  Sekarang ini menurut laporan WHO, ada enam negara dari sepuluh negara di Asia mengalami penyakit obesitas tertinggi, yakni; (1) Cina, (2) India, (3) Indonesia, (4) Jepang, (5) Pakistan dan (6) Banglades.  Perihal ini sebagaimana yang diungkapkan Chin Ming-kai (2008:3) yang menyatakan “In a recent WHO report (2002), six Asian countries China, India, Indonesia, Japan, Pakistan and Bangladesh are listed among the top 10 countries with the greatest prevalence of the disease of obesity.
Kemudian berdasarkan hasil survey himpunan obesitas Indonesia Askandar Tjokroprawiro, (2006); dalam Misnadiarli (2007;144) menyatakan bahwa ‘anak-anak SD favorit di Jakarta Selatan, saat ini mengalami obesitas sebanyak 20 persen, dan di Semarang 1730 orang anak usia 6-7 tahun diketahui 9 persen overweight dan obesitas 12 persen.  Perihal yang sama dikemukakan Djer (1998) dalam Misnadiarly (2007:145)  yang melaporkan bahwa  ‘prevalensi obesitas siswa SD negeri di Jakarta pusat mengalami obesitas 9,6 persen’.   Hal ini pula diperkuat oleh Meilany, (2002) dalam Misnadiarly (2007:145) yang menyebutkan bahwa ‘prevalensi obesitas anak-anak SD swasta di Jakarta timur mengalami obesitas 27,5 persen.  Dengan demikian, Meilany menyimpulkan bahwa anak lelaki perkotaan mengalami kenaikan obesitas dari 4,6 persen menjadi 6,3 persen,  sedangkan anak perempuan dari 5,9 persen naik menjadi 8 persen’. 
Kosti & Panagiotakios, (2006); Ebbeling,  Pawlak & Ludwig (2002) dalam Chin Ming-kai (2008:4) menyebutkan :  “…..It is estimated 155 million school-age children and  adolescent  experience of obesity and being overweight”.  Artinya ...diperkirakan sekitar 155 juta anak-anak dan anak remaja usia sekolah (sworld-wides) mengalami gejala obesitas dan kelebihan berat).  Selanjutnya Ogden et al (2006) dalam Chin Ming-kai (2008:4) melaporkan“the prevalence of obesity among US children ages 6 to 11 is estimated to have increased from 15,1%  to 18,8% between 1999 and 2004”.   Ogden memprediksi bahwa anak-anak usia 6 sampai 11 tahun mengalami obesitas di perkirakan meningkatkan dari 15,1 persen  menjadi 18,8 persen  antara tahun 1999 dan 2004.   Prediksi tersebut sama tingginya sebagaimana dilaporkan General Accounting Office, (2006) dalam Chin Ming-kai (2008:4) yang menyatakan “It is estimated that as high as 20%  of American children and youths will be obese by 2010”  Artinya bahwa anak-anak kecil dan anak remaja Amerika Serikat menderita obesitas meningkat sebanyak 20 persen pada tahun 2010.  
Kasus semacam ini  oleh Doak et al., (2006)  dalam Chin Ming-kai (2008:2) dinyatakan sebagai ‘has been called an obesogenic  environment’ yakni sebagai lingkungan obesogenic.  Di Amerika Serikat, lingkungan obesogenic telah meresahkan lembaga President Council Physical Fitness dan Sports AS. Karena menurut Booth dan Chakravarthy, (2002) ; dalam Chin Ming-kai (2008:3) ‘his created the phrase sedentary death syndrome (SeDs) to describe the impact of sedentary living and obesity’.  Ungkapan tersebut menggambarkan, ke tidakaktifan fisik dalam kehidupan sehari-hari, dampaknya akan terjadi sindrom kematian (SeDs).  Rendahnya kebugaran jasmani di Indonesia, dikatakan sebagai dampak dari rendahnya kualitas pengajaran pendidikan jasmani.  Selanjutnya dipaparkan masalah rendahnya kebugaran jasmani di kalangan anak-anak usia sekolah.


Persoalan Rendahnya Kebugaran Jasmani Anak.
WHO (2004); dalam G. Petersen (2004;2) menyatakan : “…WHO is promoting healty, active and smoke-free lifestyles. Our aim is to prevent the disease and disability coused by unhealthy and sedentary living”.  Artinya “WHO mempromosikan kesehatan, gaya hidup aktif dan bebas asap. Tujuannya mencegah penyakit dan cacat disebabkan duduk terus menerus”.  Pernyataan WHO seperti ini, merupakan warning bagi masyarakat untuk dapat mencegah penyakit akibat kurang gerak (hipokinetik),  seperti penyakit cardiovascular, kencing manis, obesitas dan jantung.  Sekarang ini penyakit jantung tidak lagi menyerang orang dewasa, tetapi juga menyerang anak-anak dan remaja. “Apabila hal ini dapat dicegah lebih awal, maka akan mengurangi angka kematian sebesar 2 juta orang atau 5479 orang yang meninggal dunia akibat penyakit hypokinetik setiap tahunnya” (G.Peterson 2004:3). 
Menelaah rendahnya kebugaran jasmani, banyak pemerhati kebugaran melakukan survey/penelitian.  Perihal ini diawali dari hasil penelitian longitudinal Departemen Kesehatan (1972-2001):dalam Nerry, A. Sani, (2004:7) menyimpulkan bahwa ‘penyebab utama kematian di Indonesia diakibatkan oleh penyakit kardiovaskuler.  Penyakit ini selalu meningkat dari tahun ke tahun, seperti pada tahun 1972 urutan kesebelas naik menjadi urutan ketiga tahun 1986, dan terus meningkat menjadi urutan pertama tahun 1992, 1995, dan 2000’.   
Kemudian hasil survey Depkes (2001) dalam Pribakti; B, (2009:10) meneliti masyarakat Indonesia berusia 25 tahun, hasilnya menyimpulkan bahwa ‘masyarakat Indonesia mengalami hipertensi 56 persen (27% pria, 29% wanita), penyakit jantung tiga persen, diabetes dua persen dan obesitas 5,9 persen (1,3% pria dan 4,6% wanita)’. Hasil seperti ini relatif  sama dengan  penelitian kebugaran jasmani pegawai negeri sipil  (2002)  khususnya di lingkungan dinas kesehatan propinsi DKI Jakarta,  Jawa Barat, Sumatera Selatan, dan Bali.  Baik sekali hanya 1,05 persen,  kategori baik 4,15 persen,  sedang 10,55 persen, kurang 33,60 persen, dan kurang sekali 63 persen. (G.Peterson,2004:4) (http://www. Journalhealth.com/news/0204/04/073320.htm)
Rendahnya tingkat kebugaran jasmani, juga melanda anak pelajar di berbagai jenjang pendidikan di Indonesia.  Hal ini terbukti dari hasil survey yang dilakukan oleh tim pengembang Sport Development Index (SDI; 2005) meneliti kebugaran jasmani pelajar SD, SMP dan SMA di seluruh Indonesia.  Hasilnya tidak ada kebugaran jasmani anak  yang baik sekali (nol persen), baik hanya 5,66 persen, sedang 37,66 persen, kurang 45,97 persen, dan kurang sekali 10,71 persen.  Demikian pula pada tahun 2006, SDI menyurvey kebugaran jasmani masyarakat Indonesia berusia 25–30 tahun. Hasilnya kategori baik sekali hanya 5,05 persen, baik 5,15 persen, sedang 13,55 persen, kurang 43,90 persen dan kurang sekali 37,40 persen. (Toho Cholik,Ali Maksum 2007;52).  
Kondisi ini tentunya sangat memprihatinkan, sehingga dapat dibayangkan bagaimana produktivitas kerja masyarakat selama ini.  Karena itu, masyarakat perlu didorong untuk melakukan berbagai aktivitas jasmani secara sistematis, dan berkelanjutan. Dampak lain, akibat rendahnya kebugaran jasmani masyarakat, di tinjau dari dua sisi ekonomis yang terjadi, yakni : (1) peningkatan biaya pengobatan, (2) penghematan biaya pengobatan.  
Dari sisi peningkatan biaya,  perihal ini terbukti dari hasil survey American Alliance for Health, Physical Education, Recreation and Dance (AAHPERD:1999) dalam Toho dan Maksum, (2007:47), menyatakan ‘beberapa negara terjadi peningkatan biaya pengobatan, seperti di Belanda 2.4 persen, Kanada 6 persen, dan Amerika Serikat 9 persen termasuk biaya untuk mengatasi obesitas’.  Pernyataan serupa juga disampaikan NAO, (2001) dalam Chin Ming Kai (2008:3) “Low self  esteem, depression anxiety, work  absenteeism and low work productivity are key contributors to the economic and social costs of obesity”.  Artinya sekarang ini banyak orang yang mengalami self-estemnya rendah, depression anxiety, produktivitas kerja rendah akibatnya penghasilannya berkurang”.  Dave Jackson, Houlihan (1997) dalam Rusli Lutan dan Hallan Pereire (2003:2a) menyatakan ‘apabila olahraga dapat dikemas dengan baik, dengan apik mempunyai peluang ekonomi yang besar bagi sebuah industri olahraga dengan memanfaatkan sumber paralatan dan infastruktur yang representatif.
Kemudian dari sisi penghematan biaya, sebagaimana yang dikatakan Bruce Kidd (1997) dalam Toho dan Maksum, (2007:47) makalahnya berjudul the economic case for physical education menjelaskan, bahwa ‘Amerika Serikat dapat menghemat biaya pengobatan sebesar $ 330/orang, atau sebesar $ 580 juta/orang dalam setahun.  Kanada sebesar $ 364/orang, atau sebesar $ 200 juta/orang dalam setahun’.  Dengan demikian, apabila setiap 1 dollar diinvestasikan pada aktivitas jasmani, maka akan menghasilkan penghematan biaya pengobatan sebesar $ 320/orang dan menghasilkan keuntungan sebesar $ 29 juta dalam setahun. 
Pendapat yang sama juga dikatakan Hallan Pereire dan Rusli Lutan, (2003:2b) menyatakan bahwa melakukan ‘Olahraga dapat menurunkan nilai keuangan pemerintah dalam mengeluarkan biaya pengobatan kepada masyarakat akibat hypokinetik’. Olahraga juga merupakan alat untuk mengawali pengembangan sosial dikalangan anak-anak. Perihal ini Rusli Lutan (2003:2c) menegaskan kembali bahwa ‘dikalangan anak muda yang aktif berolahraga memiliki keuntungan secara psikologis, sosial dalam membangun harga diri (self-esteem), konsep diri (self-concept) dan percaya diri (self-efficacy) serta menurunkan angka kenakalan remaja dalam penyimpangan perilaku negatif’.
Dweyer, (1996), Graham, (2004);dalam disertasinya B. Abdul Jabar (2009:223) mengungkapkan bahwa ‘para siswa yang aktif melakukan aktivitas jasmani 4 kali sehari selama 14 minggu mampu menunjukkan perilaku akademik yang baik di dalam kelas”.  Ungkapan yang sama Jansen (2000); Graham (2004) dalam B. Abdul Jabar (2009:224) menyatakan ‘dengan melakukan berbagai aktivitas jasmani setiap hari, akan memicu pertumbuhan sel baru otak, meningkatkan/memperkuat memori otak,  dan memicu kerja kognitif’. 
Dalam kaitan ini, Jansen dan Carla Hannarford merekomendasikan kepada anak-anak untuk selalu melakukan aktivitas jasmani setiap hari (daily physical activity) karena akan berkontribusi terhadap peningkatan  prestasi akademiknya di sekolah.  Diyakini pula bahwa dengan aktivitas fisik dapat menggugah aktivitas otak dan mampu mempromosikan belajar kognitif dan psikomotor.  Dengan demikian, tidaklah berlebihan Prigge (2002);Graham (2004) sebagaimana diungkapkan B. Abdul Jabar (2009:224) mengatakan bahwa ‘melalui program pendidikan jasmani,  dapat membantu siswa menjadi lebih cerdas atau berpikir cerdas’. 

OBESITAS MENYEBABKAN RENDAHNYA KEBUGARAN JASMANI OBESITAS MENYEBABKAN RENDAHNYA KEBUGARAN JASMANI Reviewed by Magister Olahraga on 18.07.00 Rating: 5

2 komentar


  1. Segera daftarkan diri anda dan bermainlah di Agen Poker, Domino, Ceme dan Blackjack Nomor Satu di Indonesia SALAMPOKER(COM)
    Jadilah jutawan hanya dengan modal 10.000 rupiah sekarang juga !

    BalasHapus
  2. mungkin karena timbunan lemak, obesitas juga rentan terhadap penyakit.

    menggiring bola basket

    BalasHapus